Pulsa Elektronik menyediakan beragam produk. Produk yang kami sediakan semuanya selalu siap anda gunakan untuk melakukan isi ulang pulsa ke beragam produk prabayar operator telekomunikasi selular.
MATERI DASAR ISLAM
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Sedangkan makna iman itu sendiri adalah pembenaran yang bersifat pasti, yang sesuai dengan kenyataan, yang munculnya dari adanya dalil atau bukti. Bersifat pasti artinya seratus persen kebenaran atau keyakinannya tanpa ada dzhaan atau keraguan sedikitpun. Sesuai dengan fakta, artinya hal yang diimani tersebut memang benar adanya, bukan diada-adakan, misal. keberadaan Allah, kebenaran Al Qur'an, wujud malaikat dll. Muncul dari suatu dalil artinya keimanan tersebut memiliki hujjah atau dalil tertentu. Tanpa dalil sebenarnya tidak akan ada pembenaran yang bersifat pasti. Suatu dalil untuk masalah iman, ada kalanya bersifat aqli atau naqli, tergantung perkara yang diimani. Jika perkara itu masih dalam jangkauan panca indra / akal, maka dalil keimanannya bersifat aqli, tetapi jika diluar jangkauan panca indra, maka ia didasarkan pada dalil naqli. Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan sumber suatu dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli. Artinya, penentuan sumber dalil naqli tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dijadikan sebagai sumber dalil naqli. Oleh sebab itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada metode aqliyah.
Peran Akal dalam Masalah Keimanan
Oleh karena itu, ayat-ayat Al Qur'an adalah bukti eksistensi/keberadaan Allah Sang Pencipta dengan cara mengajak manusia memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Sebab, jika akal diajak untuk mencari Dzat-Nya, tentu tidak mampu menjangkaunya, seperti firman Allah SWT :
"Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang meyakini." (QS Al Jaatsiyat: 3-4)
Karena keterbatasan akal dalam berfikir, Islam melarang manusia berfikir langsung tentang Dzat Allah, karena Dzat Allah berada diluar kemampuan akal manusia untuk menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT dengan suatu makhluk. Rasulullah bersabda :
"Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah. Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang sebenarnya." (HR Abu Nu'im dalam "Al Hidayah" ; sifatnya maruf', sanadnya dhoif tetapi isinya shahih)
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas 'Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah bukanlah materi yang dapat diukur atau dianalisa, tidak dapat dikiaskan dengan materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh, dan sebagainya.
Kita hanya percaya dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui wahyu. Bila kita menghadapi suati ayat/hadits yang menceritakan tentang menyerupakan Allah dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat/hadits tersebut dan menta'wilkannya sesuai dengan akal kita. Ia lebih baik kita serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akan. Inilah yang dilakukan oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama salaf. Imam Ibnul Qoyyim berkata :
"Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al Quran dengan suara bulat. Mereka tidak menta'wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya."
Ketika kepada Imam Maliki ditanyakan tentang makna "persemayaman-Nya" (istiwaa'), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Maliki mengangkat kepala lalu berkata :
"Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid'ah/salah."